Kandas di Danau Bertuba

Hang Tuah

ANGIN kencang. Laut bergemuruh. Nahkoda tetap juga nekat ingin melayarkan Lancang Kuning ke laut dalam.

Sekali layar terkembang pantang surut ke belakang.

Petuah Melayu ini mungkin yang dipakai nahkoda. Jadi pedomannya. Boleh jadi. Boleh saja. Tetapi itu bila sudah sesuai padah dengan takah. Niat tak sumbing maksud tak menyalah. Insyaallah, langkah akan disambut faedah. Malah, berberkah. Ungkap petuah Melayu lagi, sekali dayung dua tiga pulau terlampau.

Tujuan belum sampai tuah sudah tiba.

Akan tetapi : bila tak suai. Tak selaras takah dengan padah. Tak seiring niat dengan maksud. Tak sejalan langkah dengan tujuan. Tantanglah dan tagakkanlah sekuat kederat dan kodrat. ‘Kan tertumus juga diterbangkan angin. Di darat terantuk remuk. Di laut dipelasah badai. Di udara jatuh berkecai.

Adakah yang menyalah pada nahkoda?

Ya. Kalau tidak ada yang menyalah tentu tidaklah orang-orang berteriak-teriak dari tebing-tebing bukit, dari tepi suak dan kuala sungai, dari tengah pelantar sampai ujung dermaga, dari pintu, tingkap jendela loteng-loteng rumah mereka. Meminta nahkoda menunda pelayarannya. Bukan saja karena angin kencang dan laut ribut bergemuruh bertaung topan. Tersebab juga para ABK alias awak-awak lancang baru yang dipilih nahkoda untuk berlayar bukanlah orang-orang terpilih lagi terlatih. Terseleksi. Bukanlah pelaut-pelaut sejati.

Ini sangat mengancam. Bila mereka kuranglah paham niscaya lancang akan karam. Dihantam badai taung dan topan di tengah laut yang dalam.

Apakah hadangan warga itu bukan sangkak?

Sangkak itu pirasat sial. Menapak keluar rumah kaki tersandung jendul, kayu penghalang di bawah pintu.

Sudah melangkah sampai di laman ternyata kunci tinggal di rumah. Balik lagi. Sudah jauh berjalan di labuh ternyata duit tinggal di bilik. Balik lagi. Sudah mengorak silat di gelanggang lupa melafaz kaji. Ulang, balik lagi.

Tapi nahkoda tak peduli dengan semua ini.

Dia yakin, apa yang dilakukannya sudah betul. Dia sudah beri kepercayaan pada orang-orang kampung jadi ABK-ABK di lancangnya. Malah kepercayaan itu juga sudah diberikan oleh nahkoda-nahkoda sebelumnya, jauh sebelum dia.

Namun, dari yang banyak itu, sedikit yang dapat diandalkan. Malah sebagian ada yang menetak-netak lambung lancang yang dinaikinya sampai bocor di sana sini. Sebagian lainnya jadi perompak di perahu yang ditumpanginya sendiri.

Ada ABK yang bawa balik periuk nasi. Ada ABK yang bawa balik layar dan kemudi. Ada ABK yang bawa balik dayung dan pengayuh. Ada yang bawa balik jangkar atau sauh. Sampai ada ABK yang bawa balik tali penampat kapal – ke rumah mereka masing-masing. Akibatnya kapal tidak dapat bergerak sama sekali.

Akhirnya terpongking. Tersadai di tepi pantai.

Dimusababkan inilah, nahkoda mengurangi memberi kepercayaan kepada orang sekampung, para pelaut sejati itu, sebagai pemegang kunci-kunci utama di lancangnya.

Sekali ini dia berputar arah, tukar tradisi, kepercayaan untuk pemegang kunci utama di lancangnya itu diberikannya kepada orang lain. Kepada pendayung perahu yang biasa bertarung di danau dan kolam. Danau dan kolam bertuba pula. Bukan mereka yang biasa di laut dalam.

Ini lebih meyakinkan, menurut tindak-tanduk nahkoda. Mereka belum terkontaminasi masin lekit bergaramnya air laut. Diperkirakan, mereka juga punya siasat sangat tidak biasa dan leblh digdaya dalam memperdaya laut dalam yang penuh gelora.

Sejenak orang-orang kampung cuma terfana.

Menyaksikan saja nahkoda melautkan lancang meninggalkan dermaga saat laut bergemuruh penuh gelora. Tidak bisa bicara apa-apa. Kecuali talibun yang terbata-bata di sesak sebak dada mereka.

Lancang Kuning pergi melaut
Diawaki pendayung danau bertuba
Semoga tak kandas di tengah kolam

Banyak harapan pupus dan luput
Kaya pusaka mewariskan sengsara
Orang menindas awak yang tenggelam.

Bersambung: lihat angin dan cuaca.***

Panam Bandaraya, 31 Januari 2021

Baca : Bukan Tiga Tungku Sejerangan

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *