Religius Mendadak

MENDADAK religius, mendadak sakit, mendadak miskin, mendadak kaya, dan mendadak lainnya merupakan sesuatu yang mengejutkan. Selain itu, biasanya segala yang super instan selalu menggiurkan dan terkadang menggelikan dan menyakitan.

Mendadak religius alias mendadak alim tidak hanya ada dalam sinetron, atau dalam dunia fiksi. Tetapi sudah menjadi realitas, bahkan menjadi perbincangan publik setelah beberapa waktu lalu, jaksa agung Sanitiar Burhanuddin membuat pernyataan yang cukup menghebohkan.

Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin mengimbau para terdakwa untuk tidak mengenakan atribut keagamaan. Terutama jika atribut keagamaan tersebut sehari-harinya tidak pernah digunakan oleh terdakwa. Imbauan tersebut bertujuan agar atribut keagamaan yang dikenakan terdakwa tidak menimbulkan pemikiran yang negatif di tengah masyarakat. Sebab dalam beberapa persidangan, terdakwa kerap tiba-tiba mengenakan atribut keagamaan. Hal tersebut dinilai dapat merusak citra dari agama tertentu. (PikiranRakyat.com, 17 Mei 2022)

Pernyataan itu menuai pro dan kontra dalam masyarakat, terutama para ahli hukum dan praktisi hukum. Sebagian yang kontra menyatakan itu bukan kewenangan kejaksaan karena mengatur pakaian itu bagian dari kewenangan hakim di pengadilan ketika persidangan. Selain itu, ihwal pelarangan tersebut tidak memiliki payung hukum yang mengaturnya. Tidak ada larangan berpakaian dengan atribut apapun selama tidak bertentangan dengan ketertiban umum, norma yang berlaku, dan hak asasi manusia (HAM). Akan tetapi apa yang disampaikan jaksa agung bukan hal yang negatif.

Kelompok yang pro beralasan bahwa apa yang disampaikan Jaksa Agung ada benarnya, karena mendadak alim ini dapat dipandang memburukkan image suatu agama tertentu bahkan melecehkan agama tertentu. Para terdakwa yang didakwa merusak moral tiba-tiba tampil di persidangan menjadi seolah-olah seseorang yang amat religius. Bagi kaum wanita yang biasanya sehari-hari menggumbar aurat, tiba-tiba di persidangan berkerudung panjang dan menutup aurat bagai seorang yang sangat tekun beribadah.

Prilaku para terdakwa ini entah disebabkan apa. Entah karena diarahkan oleh pengacaranya atau memang lahir dari lubuk hatinya. Entah karena ingin menarik simpati hakim dan publik atau benar-benar karena bertobat. Kalau ingin meraih simpati hakim atau coba memengaruhi hakim tentu saja prilaku ini amat memalukan yang menyedihkan. Karena selama ini belum terlihat dan terdengar ada hasil penelitian bahwa terdapat korelasi pakaian terdakwa terhadap putusan hakim di persidangan. Akan tetapi kalau prilaku ini muncul karena timbulnya kesadaran, ya syukurlah. Semoga itu menjadi titik awal bagi terdakwa untuk mengukir sesuatu yang lurus dan benar baginya dalam menatap hari esok.

Secara umum, sebenarnya etika berpakaian dalam sidang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”). Di dalam KUHAP, pengaturan pakaian hanya ditujukan bagi hakim, jaksa, penasihat hukum, dan panitera. Hal ini termuat dalam Pasal 230 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: Dalam ruang sidang, hakim, penuntut umum, penasihat hukum dan panitera mengenakan pakaian sidang dan atribut masing-masing.

Kemudian dalam Pasal 231 ayat (1) KUHAP dijelaskan pula bahwa: Jenis, bentuk dan warna pakaian sidang serta atribut dan hal yang berhubungan dengan perangkat kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 230 ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah. (www.hukumonline.com)

Hemat saya yang merupakan warga negara biasa, masing-masing tanggapan dari kelompok yang pro dan yang kontra tentang pernyataan itu ada benarnya. Yang terpenting harus ada sandaran atau payung hukum untuk itu, misalnya peraturan atau surat edaran dari Mahkamah Agung. Karena dari perspektif intuitif, ketika fenomena ini terjadi, pemeluk agama tertentu merasa risih dan tak enak hati karena prilaku bejat tersebut seolah-olah dilakukan pemeluk dari agama tertentu. Untuk itu, seragam terdakwa di ruang sidang eloknya mesti diatur juga oleh pihak berwenang, dalam hal ini Mahkamah Agung. Kalau hakim, penuntut umum, penasihat hukum  dan panitera memiliki seragam khusus pada saat persidangan, kenapa para terdakwa tidak?

Namun barangkali yang mengeluarkan regulasi atau semacam surat edaran tentang ini tentu saja bukan kejaksaan akan tetapi Mahkamah Agung sehingga dapat diterapkan pada saat persidangan karena pemegang kuasa tertinggi dalam persidangan adalah hakim.

Agaknya begitulah. Tabik. ***

Baca : Panduan Kerja Muslim

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *