Ruang Kosong

Bang Long

Bismillah,

(1)

Sebenarnya karya sastra bukanlah suatu yang luar biasa. Bukanlah juga sebagai sesuatu yang unik. Tidak lagi tepat kalau kita sebut sebagai kado yang eksklusif dan terpinggirkan. Karya sastra, bagi saya, merupakan cerminan kehidupan sehari-hari. Sama halnya seperti ketika saya atau kita sewaktu kecil melahap roti sumbu atau ubi rebus dan lempeng sagu yang dihidangkan oleh Emak. Melalui adukan tangan Emak, ubi dan sagu menjadi bermacam rasa. Tanpa kita sadari, sebenarnya, kita begitu dekat dengan sastra. Orang tua kita telah ”menulis” sastra melalui beban kehidupan sehari-hari bersama kita. Ubi dan sagu bermacam rasa itulah ibarat rangkaian kekuatan kata-kata yang menjelma jadi karya sastra dan bermuatan implisit.

Muatan implisit bisa dijadikan sebagai suatu indikasi bahwa karya sastra tersebut bermutu. Namun, indikasi tersebut tidaklah mutlak. Luxemburg, Bal, dan Weststeijn bersimpulan dalam bukunya Tentang Sastra bahwa dalam suatu teks sastra banyak yang dibiarkan implisit sehingga menyibukkan pembaca. Ia harus mengisi sendiri ”bagian-bagian yang kosong”. Interpretasi teks sastra pun menghendaki pemahaman simbolik (1991:6). Hal-hal implisit tersebut juga dapat kita temukan dalam tradisi lisan Melayu seperti pantun, syair, gurindam, pantang larang, dan peribahasa. Pikiran pembaca atau pendengar akan diajuk untuk menemukan maksud dan makna sebenarnya. Itulah ruang kosong yang harus ditemukan para pembaca dan pendengar. Ini bermakna bahwa adat sastra merupakan adat menciptakan ruang kosong. Ruang kosong dimaksud paling tidak adalah makna yang harus ditemukan.

Seperti kata Hamid Jabbar, sastra lahir bukan dalam ruang kosong. Karya sastra hadir dalam ruang dan waktu yang bergerak. Dinamis. Karena kehidupan dan zaman yang dinamis, karya sastra yang lahir tidak dari ruang kosong itu justru mengisi ruang kosong. Tentu saja ruang kosong selalu berkias kesunyian atau kesepian. Keheningan. Lengang. Ruang kosong itu adalah nilai kehidupan yang dirumuskan para sastrawan. Nilai kehidupan itu diterjang, dihempas, dan dilempar sisi lain teknologi dengan begitu ganas. Padahal, karya sastra yang terkesan hampa bagi sebagian kalangan itu memberikan suatu pemahaman.

Hakikatnya, teks sastra merupakan hasil pemahaman kita terhadap kehidupan. Penulis sastra menuangkan karyanya berdasarkan pemahamannya terhadap makna kehidupan. Pemahaman pembaca pun berdasarkan ruang-ruang kehidupan yang dialaminya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pemahaman-pemahaman inilah yang berbancuh dalam kekuatan rangkaian kata-kata yang penuh makna.

(2)

Pada abad ke-18 dan 19, di Kerajaan Melayu Riau muncul organisasi literasi bernama Rusydiah Klub. Organisasi profesi penulis ini dinakhodai sastrawan Melayu termasyhur, Raja Ali Haji (RAH). Lalu, untuk menunjang tradisi literasi tersebut, berdiri pula percetakan Mathabaat Al Riauwiyah atau Mathabaat Al Ahmadiyah. Kedua lembaga ini, oleh budayawan Riau U.U. Hamidy disebut sebagai lembaga yang berpengaruh besar dalam pembinaan bahasa Melayu Riau, selain tokoh RAH sebagai pelopor dan penggagas, sebagai kapak, bukan ketam.

Dewasa ini komunitas lahir bagai cendawan merecup subur di musim hujan. Komunitas terbentuk di mana-mana. Bentuk dan tujuannya pun bervariasi. Ada komunitas yang hidup dan berkembang begitu sehat. Ada yang mati. Komunitas yang sakit pun ada. Ada pula komunitas yang berada antara ada dan tiada, ibarat hidup enggan mati tak mau. Keberadaan komunitas ini sangat bergantung pada kekuatan niat pengurus dan anggotanya, termasuklah komunitas sastra atau komunitas yang bergerak di bidang literasi.

Secara empiris, profesi dan pendidikan seseorang tidak berdampak langsung pada keterampilan menulisnya. Sebagai keterampilan berbahasa tertinggi, menulis hanya bisa dilakukan dengan langkah latihan, latihan, latihan, dan kesabaran. Makna keterampilan apa pun sebenarnya sudah diajarkan dalam filosofi Melayu, yaitu lancar kaji karena diulang dan alah bisa karena terbiasa. Pembiasan dan latihan yang kita lakukan secara berulang akan membentuk keterampilan pada diri seseorang. Hanya dengan latihan secara berulang dan kesabaran dalam menulis, seseorang bisa menjadi penulis handal.

(3)

Semuanya perlu proses. Menulis pun! Proses merupakan jalan berharga yang harus ditempuh (calon) penulis. Kesempurnaan dalam proses menulis tak bisa dihindari. Tanpa proses sempurna, sejatinya hasilnya tidak akan sempurna. Bahkan, proses yang cacat tidak bisa menghasilkan sesuatu.

Bagaimanapun hiruk-pikuk badai teknologi, ekonomi, dan politik, sastra terus saja lahir. Puisi-puisi lahir. Cerpen-cerpen lahir. Novel-novel juga lahir. Kita tetap saja perlu mengisi ruang-ruang kosong dalam bilik kehidupan kita yang lain. Hanya (karya) sastra yang layak menempati ruang-ruang kosong tersebut agar sisi humanis benar-benar terwujud dari diri kita sebagai manusia. Hidangan beragam karya sastra dalam antologi, meskipun ada gejala ”keterpaksaan”, dia tetap akan berperan untuk mengisi ruang-ruang kosong itu.

Persoalan karya sastra hakikatnya adalah persoalan bahasa. Persoalan ini ibarat sarang laba-laba. Jika penulis diibaratkan sebagai laba-laba, maka dia merajut helai demi helai benang (kata-kata). Rajutan yang kuat akan membentuk benda lain yang kita sebut karya. Sastrawan telah melakukan rajutan tersebut dengan kata demi kata melalui beberapa karyanya. Sebagaimana halnya antologi bersama yang tidak membatasi tema-tema, maka karya sastra yang dihidangkan akan merebak. Kebebasan absolut ini juga penting dalam berkarya. ***

Alhamdulillah.
Bengkalis, Selasa, 20 Ramadan 1444 / 11 April 2023

Baca: Perempuan Bulang Cahaya

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews