Kedewasaan dalam Beragama

Pemuda

DULU, Gus Mus pernah memberikan ilustrasi tentang tingkat pemahaman seseorang dalam beragama. Ada yang masih masuk level Taman Kanak-Kanak, ada yang masuk dalam level Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, dan tentu saja banyak yang pada kelompok Perguruan Tinggi. Semakin tinggi level atau jenjang seseorang, maka seharusnya ia akan semakin memiliki kemampuan untuk mengarifi setiap persoalan dalam beragama.

Gambaran itu, mirip dengan logika yang disampaikan oleh Buya Hamka bahwa “Semakin banyak ilmu semakin lapang hidup, semakin kurang ilmu semakin sempit hidup”. Bahwa semakin tinggi ilmu yang dimiliki akan semakin membuka pikiran atas berbagai pilihan, terbuka terhadap ragam perbedaan. Begitu pun sebaliknya semakin kurang ilmu maka semakin sempit pula hidupnya. Bagai katak dalam tempurung barang kali itu adalah istilah yang pas bila kita kekurangan ilmu. Sempit tapi sombong.

Jadi, level atau kelas yang disebut oleh Gus Mus itu, sesungguhnya adalah kemampuan seseorang dalam bersikap dalam beragama. Seharusnya semakin tinggi kelasnya, semakin banyak sumber bacaan yang diulas, dipahami, dan dimaknainya. Semakin banyak seseorang membaca, merenung, dan mendapatkan ilmu agama secara mendalam, maka ia akan memiliki sikap dan prilaku yang terbuka dan dewasa.

Dalam beberapa literature menunjukkan bahwa dewasa berarti bijaksana. Bijaksana berarti kemampuan memahami sesuatu dengan berbagai perspektif. Orang bijak, tidak terburu-buru dalam menggeneralisir sebuah persoalan. Orang bijak biasanya mampu menelisik substansi sebuah persoalan. Dalam konteks beragama, orang bijak mampu menangkap visi sebuah agama, mampu meneroka nilai luhur dan menghayati setiap ajaran agama, dan kemudian berikhtiar semampunya untuk menerapkannya. Dan Kebijaksanaan ini merupakan essensi dari filsafat.

Di antara ciri penting dari orang bijak atau dewasa dalam beragama adalah keseriusannya untuk selalu tidak merasa benar, sehingga tidak segera memvonis dengan menyalahkan orang lain saat mereka punya pandangan yang berbeda dengan dirinya.

Sikap lain lagi adalah kerelaan dirinya untuk tidak berburuk sangka pada orang lain yang kebetulan berbeda dengan dirinya. Kasus-kasus yang menimpa pada perempuan, seperti pelecehan seksual hingga pemerkosaan, dijadikan sebagai refleksi betapa gagalnya dirinya untuk mengontrol nafsu birahinya. Sehingga ia tidak lekas menyalahkan perempuan yang memang menjadi korban.

Yang paling dalam dari itu semua adalah, kedewasaan dalam beragama adalah hasrat yang kuat untuk selalu belajar, terus menggali makna tedalam dari setiap ajaran agama yang kita yakini. Sembari terus menerabkan kedamaian dan keberkahan kepada semua insan, semua makhluq Tuhan di muka bumi. Selamatkan sesama manusia dari kejahatan yang diakibatkan oleh tangan dan lisan kita. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Seorang muslim itu adalah orang yang orang-orangnya manusia lainnya merasa aman (kejahatan) lisan dan tangannya dan orang mukmin adalah orang yang manusia lainnya merasa aman atas darah (jiwa) dan harta mereka”.

Dari Abdullah bin ‘Amru. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Seorang muslim adalah orang yang kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya, dan seorang Muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (Shahih Bukhari).

Dari Abu Musa berkata, “Wahai Rasulullah, Islam manakah yang paling utama? ” Rasulullah menjawab, “Siapa yang kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya.” (Shahih Bukhari).

Tiga hadits di atas, setidaknya menjadikan kita untuk siap menjadi dewasa dalam beragama. Wallahu a’lam bi al-Shawab.***

Baca: Filsafat sebagai Sebuah Perspektif

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *